Kubelajar tak sebutkan nama……
Senja kian beranjak
menyambut malam. Semburat jingga di barat memberi tanda kepada makhluk bernyawa
untuk segera memenuhi panggilan Rabbnya. Dengan tergesa-gesa anak-anak kecil
berebut shaf terdepan shalat berjama’ah
agar cap bilah tak membekas di betis. karena tak sedikit yang hanya
datang ke masjid namun tak shalat. Masa
yang selalu terkenang saat pulang
sekolah berlarian seperti mengejar angin, tak berapa lama harus ke madrasah siang
jika tak ingin bapak bertanya dengan jelitan matanya yang mengintimidasi.
Berenang di sungai, mencari kayu bakar di hutan, rebutan rumpun pakis saat
akhir pekan menjadi rutinitasku di usia SD. Duhai waktu, andai kau bisa
kembali… J
Lain lagi saat SMP yang
tak jauh dari rumahku. Aku menyukai dunia organisasi; OSIS, Pramuka dan Drum Band mengisi masa
remajaku . Aku berhasil melewati masa pubertas dengan baik. Saat kelas 3 SMP
kuputuskan menganggunkan diri dengan berjilbab. Meskipun prosesnya tak
sebentar; kakakku sering memberi tausyiah pajangnya sejak aku SD untuk munutup
aurat. Sarannya bisa diterima akal sehat
saat usiaku 15 tahun. MAN Sarolangun
jadi sekolah lanjutan pilihan setelah banyak pertimbangan. Seperti saat SMP,
aku masih disibukkan dengan kegiatan
sekolah. Organisasi seperti dunia baruku.
Tumbuhku bersamanya memberikan kontribusi besar dalam hidup. Sahabat,
rival, visi, dan impian masa depan kurangkai mereka dalam diary episode usiaku.
CINTA? Entah, aku saja lupa apakah aku merasakan getar jatuh cinta pertama kali
atau tidak. Bohong jika tak seorang pun yang menarik perhatian, namun kujaga
hati ini untuk ia yang tak pernah kuketahui. Tarbiyah menyentuhku dengan aturan
islam yang kaffah. Aktifitas kampus yang padat ditengah kuliah di jurusan
tadris. Konsep tarbiyah mengajarkan aku dewasa bersikap, lebih soal hati. Bukan
tak ada yang singgah, namun kutahu labuhan ini bukan saat yang tepat. Semangat
belajar yang menggebu, kuliah dan rapat yang padat melenakanku untuk fokus
dengan tujuan.
4 tahun setelah wisuda.
26 tahun usiaku, hampir 27. Aku bukan
Maryam, wanita suci di bumi Al Quds. Perempuan akhir zaman yang sedang berjuang di tengah godaan
syaithan. Yakin akan janjiNya jauh sebelum kaki ini mampu berjalan bahwa tiap
insan diciptakan berpasangan. Aku malu padaNya,saat hati ini tergesa meminta.
Bukankah DIA Dzat yang menepati janji? Kubelajar tak sebutkan nama, karena kuyakin
akan JanjiNya, siapapun ia, lelaki manapun ia berasal, pilihanNya adalah yang
terbaik. Bisa jadi aku tak menyukai
sesuatu namun Allah sungguh menyukainya.
Jadi teringat kata bang
Tere “Setiap orang memiliki perjalanan perasaan yang khas. Ada yang berliku2,
ada yang lurus, ada yang menanjak, ada yang turun. Tidak bisa disamakan satu
sama lain. Dan setiap perjalanan perasaan itu tentu
saja spesial. Yang sama adalah: aturan2 yang mengikatnya; norma2
masyarakat yang mengaturnya; dan tentu saja kaidah2 agama yang menjadi
tuntunannya. Sama. Jangan dilanggar, jangan ditabrak. Maka kisah perasaan kita
akan selalu istimewa untuk dikenang atau diceritakan”.( ditulis Saat Kotaku
dilanda bencana Asap)