Laman

Minggu, 25 Oktober 2015

Kubelajar tak sebutkan nama...


Kubelajar tak sebutkan nama……
Senja kian beranjak menyambut malam. Semburat jingga di barat memberi tanda kepada makhluk bernyawa untuk segera memenuhi panggilan Rabbnya. Dengan tergesa-gesa anak-anak kecil berebut shaf terdepan shalat berjama’ah  agar cap bilah tak membekas di betis. karena tak sedikit yang hanya datang ke masjid namun tak shalat. Masa  yang selalu terkenang  saat pulang sekolah berlarian seperti mengejar angin, tak berapa lama harus ke madrasah siang jika tak ingin bapak bertanya dengan jelitan matanya yang mengintimidasi. Berenang di sungai, mencari kayu bakar di hutan, rebutan rumpun pakis saat akhir pekan menjadi rutinitasku di usia SD. Duhai waktu, andai kau bisa kembali… J
Lain lagi saat SMP yang tak jauh dari rumahku. Aku menyukai dunia organisasi;  OSIS, Pramuka dan Drum Band mengisi masa remajaku . Aku berhasil melewati masa pubertas dengan baik. Saat kelas 3 SMP kuputuskan menganggunkan diri dengan berjilbab. Meskipun prosesnya tak sebentar; kakakku sering memberi tausyiah pajangnya sejak aku SD untuk munutup aurat. Sarannya bisa  diterima akal sehat saat usiaku  15 tahun. MAN Sarolangun jadi sekolah lanjutan pilihan setelah banyak pertimbangan. Seperti saat SMP, aku  masih disibukkan dengan kegiatan sekolah. Organisasi seperti dunia baruku.  Tumbuhku bersamanya memberikan kontribusi besar dalam hidup. Sahabat, rival, visi, dan impian masa depan kurangkai mereka dalam diary episode usiaku. CINTA? Entah, aku saja lupa apakah aku merasakan getar jatuh cinta pertama kali atau tidak. Bohong jika tak seorang pun yang menarik perhatian, namun kujaga hati ini untuk ia yang tak pernah kuketahui. Tarbiyah menyentuhku dengan aturan islam yang kaffah. Aktifitas kampus yang padat ditengah kuliah di jurusan tadris. Konsep tarbiyah mengajarkan aku dewasa bersikap, lebih soal hati. Bukan tak ada yang singgah, namun kutahu labuhan ini bukan saat yang tepat. Semangat belajar yang menggebu, kuliah dan rapat yang padat melenakanku untuk fokus dengan tujuan. 
4 tahun setelah wisuda. 26  tahun usiaku, hampir 27. Aku bukan Maryam, wanita suci di bumi Al Quds. Perempuan akhir zaman  yang sedang berjuang di tengah godaan syaithan. Yakin akan janjiNya jauh sebelum kaki ini mampu berjalan bahwa tiap insan diciptakan berpasangan. Aku malu padaNya,saat hati ini tergesa meminta. Bukankah DIA Dzat yang menepati janji? Kubelajar tak sebutkan nama, karena kuyakin akan JanjiNya, siapapun ia, lelaki manapun ia berasal, pilihanNya adalah yang terbaik. Bisa  jadi aku tak menyukai sesuatu namun Allah sungguh menyukainya.
Jadi teringat kata bang Tere “Setiap orang memiliki perjalanan perasaan yang khas. Ada yang berliku2, ada yang lurus, ada yang menanjak, ada yang turun. Tidak bisa disamakan satu sama lain. Dan setiap perjalanan perasaan itu tentu saja spesial. Yang sama adalah: aturan2 yang mengikatnya; norma2 masyarakat yang mengaturnya; dan tentu saja kaidah2 agama yang menjadi tuntunannya. Sama. Jangan dilanggar, jangan ditabrak. Maka kisah perasaan kita akan selalu istimewa untuk dikenang atau diceritakan”.( ditulis Saat Kotaku dilanda bencana Asap)